Rabu, 06 Mei 2009

BANGUNLAH PERS MAHASISWA!!!


Bermula dari kampus, eksistensi Persma harus mulai dikembangkan kembali. Bukan suatu hal yang mustahil, masa keemasan Persma akan dapat diraih kembali. Berusaha dan berjuanglah pers mahasiswaDi era reformasi sekarang ini pers mahasiswa (Persma) terasa kurang terdengar gaungnya. Ketika kebebasan informasi sudah menjadi milik kita semua dan media massa (baru) tumbuh subur, kondisi Persma justru nyaris tenggelam. Kondisi ini bermula sejak tahun 1998, ketika reformasi dikumandangkan Persma menjadi kehilangan perannya. Peran kontrol sosial melalui pemberitaan yang tajam, kritis dan independen. Peran itu telah kembali dipegang oleh pers umum yang di masa Orde Baru dipresentasikan oleh Persma.
Pada era 1970-an Persma pernah mengalami masa keemasannya. Harian KAMI, Mahasiswa Indonesia dan Mimbar Demokrasi merupakan penerbitan mahasiswa (istilah resmi pers mahasiswa kala itu) yang mampu eksis pada tahun 1970-an. Dengan oplah sekitar 30-70 ribu eksemplar –setiap kali penerbitannya, tak hanya diminati oleh mahasiswa saja. Masyarakat umum pun menjadi pembacanya. Persma pada era itu mampu menjawab tantangan zaman secara baik. Bahkan informasi yang disajikan pada saat itu lebih baik dari pers umum.
Kini, yang ada hanya tinggal kenangan manis. Kondisi Persma sekarang cukup memprihatinkan. Persma hadir dikomunitasnya sekedar memenuhi jadwal penerbitan yang dibuat menurut logika birokratis-paradigmatik sebuah unit kegiatan mahasiswa. Penerbitan itupun muncul bukan atas kesadaran penuh atau kebutuhan menyalurkan idealisme tapi ‘tuntutan rutinitas’ agar legitimasi sebagai bagian dari kegiatan mahasiswa di kampus tetap terjaga (Masduki, 2003).
Terbitan Persma kurang dimanfaatkan sebagai sarana aktualisasi idealisme mahasiswa. Pada akhirnya produk yang dihasilkan oleh Persma –baik dalam bentuk majalah, tabloid maupun newsletter– menjadi kehilangan rohnya. Produknya menjadi tidak menarik dan kurang mampu memenuhi apa yang diinginkan oleh pembacanya (baca: mahasiswa). Sehingga tak jarang Persma kurang dikenal di lingkungan kampusnya sendiri.





Persoalan Klasik
Meredupnya eksistensi Persma sekarang ini disebabkan oleh berbagai persoalan. Persoalan yang selalu melilit hampir sama dimanapun Persma itu berada. Kondisinyapun tak jauh berbeda, kebanyakan Persma tak mampu keluar dari persoalan klasik yang ada. Persma terjebak pada persoalan yang secara teoritis sebenarnya mampu dihadapi, namun pada tataran praktis sulit untuk diselesaikannya. Setidaknya ada tiga persoalan klasik itu diantaranya: lemahnya kaderisasi, periodisasi terbitan yang tidak tetap dan kebijakan rektorat.
Sistem kaderisasi yang dimiliki oleh Persma biasanya tidak matang. Persma tidak mampu menjaga kelangsungan hidupnya dengan menyediakan kader-kader penerusnya. Persma lebih mengandalkan sosok yang sudah ‘jadi’ untuk mengelolanya. Sistem kaderisasi yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan Persma. Tak jarang pada periode tertentu Persma mampu sedikit berkembang, namun pada periode berikutnya dengan segera tenggelam kembali. Ini terjadi karena kualitas sumber daya pengelola yang ada jauh berbeda dalam setiap periodenya.
Kebanyakan Persma tidak memiliki periodisasi terbitan yang tetap. Terlambat deadline, seakan telah menjadi budaya bagi terbitan Persma sekarang. Sehingga tak jarang ketika terbitan sampai di tangan pembaca, infomasi yang disampaikan telah basi dan tidak aktual lagi. Hal ini menyebabkan pembaca enggan melirik pada informasi yang disajikan oleh Persma. Mahasiswa lebih tertarik pada informasi yang disajikan oleh pers umum.
Bagi Persma yang sumber dana utamanya berasal dari rektorat, ada kecenderungan Persma tersebut tidak dapat bergerak dengan bebas. Persma menjadi tidak kritis terhadap rektorat. Bahkan Persma sering dijadikan sebagai corongnya rektorat. Informasi yang disajikan oleh Persma hampir dipastikan akan sejalan dengan kebijakan rektorat. Dan untuk menjaga kelangsungan hidupnya Persma lebih memilih menuruti kemauan rektorat. Rektorat melalui kebijakannya mampu mengontrol arah pemberitaan Persma.
Menghadapi kondisi semacam ini, Persma harus tanggap dan segera mencari solusinya. Pertama, untuk tetap menjaga kelangsungan hidup Persma maka optimalkan peranan divisi kaderisasi. Rumuskan dengan jelas pola kaderisasi yang akan diterapkan. Divisi kaderisasi harus mampu melakukan perekruitan pengelola baru dengan baik. Upayakan ada sistem magang sebelum menjadi pengelola Persma.
Kedua, Untuk meminimalisasi budaya terlambat deadline, pimpinan Persma harus dapat bertindak dengan tegas. Kuatkan kembali komitmen seluruh pengelola Persma yang ada. Reward and punishment harus diberikan pada pengelola Persma. Untuk memacu kinerja, berikan reward bagi pengelola yang melaksanakan kewajibannya dengan baik. Punishment –berupa peringatan lisan, peringatan tertulis bahkan pemecatan– harus diberikan pada pengelola yang tidak mampu melaksanakan tugasnya. Ketegasan aturan yang ada sangat diperlukan guna meningkatkan kedisiplinan di dalam tubuh Persma itu sendiri.
Ketiga, kebijakan rektorat sebenarnya tak hanya menjadi kendala bagi Persma yang sumber dana utamanya dari rektorat, namun juga bagi hampir semua Persma. Rektorat menjadi bayang-bayang dalam setiap pemberiatan Persma. Untuk menghadapi kondisi semacam ini Persma tak perlu takut. Sistem pemberitaan Persma harus tetap independen dan seimbang. Prinsip check and balance harus tetap dikedepankan.
Sudah saatnya, kini Persma bangun dari ‘tidurnya’. Uraikan benang kusut yang melilit di tubuh Persma. Selesaikan permasalahan yang menjadi hambatan untuk berkembangnya Persma. Persma kini dituntut untuk membenahi jati dirinya kembali dan tak boleh terbuai dengan romantisme kejayaan di masa lalu. Segala kejayaan Persma dimasa lalu hendaknya dijadikan sebagai semangat untuk dapat bangkit kembali, bersama membangun eksistensi Persma.
Tak dapat dipungkiri bahwa kini Persma sangat sulit untuk kembali mendapatkan perannya seperti di era Orde Baru. Persma harus segera melakukan reposisi dan reorientasi diri. Persma sebagai media kampus masih tetap bisa melakukan peran yang mungkin belum terjamah oleh pers umum. Peran kontrol sosial dalam lingkungan kampus setidaknya harus mulai diperankan oleh Persma. Persma harus mampu menunjukkan kepedualiannya pada lingkungan kampus dengan bersikap kritis terhadap segala kebijakan rektorat.
Dikemas oleh : Nugie_kita


0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar

 
© free template by Blogspot tutorial