Senin, 04 Mei 2009

Gerombolan Maling Di Kampung Para Intelektual

Dunia pendidikan modern telah mengalami kemunduran yang cukup mengerikan dalam banyak hal. Hampir semua sendi dunia pendidikan kita tak luput dari proses penurunan kualitas. Kian hari kian memburuk saja. Era reformasi yang digadang-gadang akan membawa perbaikan tak jua berjalan sesuai harapan. Jauh panggang dari api. Dulu, saat rezim super otoriter berkuasa dunia pendidikan tak ubahnya sekedar medium dehumanisasi bagi anak bangsa. Dehumanisasi menurut Paulo Freire adalah keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi menjadi manusia (Menggugat Pendidikan, 2003). Dehumanisasi dapat pula diartikan sebagai suatu kondisi yang menempatkan manusia sebagai objek oleh manusia lainnya maupun oleh sistem. Kini setelah era orde baru ambruk dan berganti dengan era reformasi yang sudah berjalan sekitar sebelas tahun ternyata tak juga mampu membawa angin perubahan yang signifikan bagi dunia pendidikan. Berbagai fenomena kebusukan di dunia pendidikan mewujud sedemikian masifnya di negeri ini mulai dari kian mahalnya biaya pendidikan hingga rubuhnya moralitas para pendidik maupun anak didik. Satu fakta yang cukup mengkhawatirkan di dunia pendidikan saat ini adalah makin maraknya budaya plagiat ( menjiplak ) hasil karya orang lain. Sebuah fakta tentang miskinnya budi pekerti sekaligus pula kemiskinan intelektual.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri. Secara sederhana, plagiat dapat dikatakan sebagai pencurian gagasan, kata, kalimat atau hasil penelitian orang lain dan menyajikannya seolah-olah sebagai karya sendiri.Di lingkungan penulis menuntut ilmu, budaya plagiat menjadi fenomena yang akrab dalam rutinitas keseharian. Terkhusus adalah hobi copy paste karya tulis orang lain. Setiap kali dosen memberi tugas menulis, saat itu pula banyak mahasiswa yang dengan entengnya meng-copy paste hasil tulisan orang lain di internet kemudian mengklaim bahwa dirinyalah sang penulis paper tersebut. Tak ada kerja intelektual dalam penggarapan tugas tersebut, yang ada hanya kerja criminal, alias mencuri sesuatu yang bukan haknya. Tugas menulis yang sebenarnya diberikan untuk merangsang mahasiswa agar terbiasa berpikir kritis, analitis dan logis justru menuai hasil mahasiswa dengan pikiran kerdil dan bermental kriminil. Yang lebih aneh lagi sampai detik ini penulis belum pernah mendengar ada dosen yang mengembalikan karya tulis mahasiswa karena mengetahui bahwa karya tulis tersebut hasil kerja plagiasi. Entahlah, mungkin karena benar-benar tidak mengetahui kalau banyak mahasiswanya yang melakukan kerja plagiasi, atau barangkali saja mengetahui tapi mereka berlagak tak mau tahu.
Satu lagi fenomena yang memprihatinkan terkait ketidakjujuran di dunia pendidikan adalah maraknya jasa pembuatan skripsi. Sebuah peluang bisnis di tengah sempitnya lapangan kerja di negeri ini. Di tengah maraknya budaya tipu menipu di dunia pendidikan sudah tentu jasa pembuatan skripsi ini laris manis dan menuai banyak pelanggan. Yang penulis ketahui untuk pembuatan satu skripsi biayanya berkisar antara satu juta hingga satu setengah juta rupiah. Bayangkan kalau dalam satu bulan bisa menyelesaikan sepuluh order skripsi, puluhan juta rupiah akan masuk kantong. Toh jasa pembuat skripsi ini juga tidak susah-susah amat karena ujung-ujungnya mereka lebih banyak melakukan kerja plagiasi daripada kerja orisinil mereka sendiri. Yang lebih parah lagi adalah tak jarang di balik jasa pembuatan skripsi ini berdiri orang-orang dari kalangan akademik, mereka adalah para staff pengajar atau bahkan dosen. Budaya plagiat memang telah begitu menggurita, bukan hanya di kalangan sarjana, di UGM pernah terjadi seorang doctor yang dicabut gelarnya gara-gara disertasinya terbukti hasil plagiat.
Maraknya kerja plagiasi di dunia pendidikan terutama perguruan tinggi adalah sebuah fakta yang menegaskan bahwa kejujuran intelektual sedang mati suri, hampir mati dan akan segera sirna. ini adalah bencana besar bagi dunia pendidikan. Semacam matinya dunia pendidikan karena tak mampu lagi menghasilkan output sebagaimana yang diharapkan. satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan penyikapan yang sigap dan tegas dari pihak perguruan tinggi terkhusus adalah dari para dosen yang bertatap muka langsung dengan para mahasiswanya dalam keseharian. Tentu saja dibutuhkan dosen yang jeli, kritis, cerdas dan harus menjunjung tinggi budi pekerti. Sebenarnya merupakan sebuah keganjilan ketika seorang dosen tak mampu memilah mana karya asli mahasiswanya dan mana yang tidak. Sebuah indikasi bahwa sang dosen hanya sekedar menggugurkan tugas mengajar semata, hanya mengedepankan formalitas belaka tanpa adanya kedekatan emosional dengan mahasiswanya. sebuah metode pembelajaran yang konservatif, mendudukkan guru sebagai subjek dan murid sebagai objeknya.
Tak heran jika negeri ini punya segudang maling karena dunia pendidikannya memang sangat mentolerir kerja maling. budaya plagiat adalah pencurian, budaya plagiat adalah juga merupakan pembusukan terhadap dunia pendidikan. Maka selama kita tidak pernah bisa berhenti atau menghentikan diri melakukan kerja-kerja plagiat maka selama itu pula kita akan dicap sebagai Negara sarang maling, sarang koruptor, dan sarang penipu. Ya…semua itu memang sudah terbukti dan hampir semua orang sudah menyadarinya. Namun rupanya sekedar sadar tidak mampu mengubah bangsa ini menjadi Negara yang lebih beradab, harus ada langkah kongkrit yang dimulai dari diri kita sendiri.
Itulah sedikit gambaran tentang realitas dunia pendidikan saat ini. Gambaran di atas hanyalah secuil bagian dari kecarutmarutan dunia pendidikan kita saat ini. Yang jelas pembahasan di atas bukanlah sebuah generalisir, hanya sekedar kegelisahan dari seorang maling intelektual yang harus segera diungkapkan.



0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar

 
© free template by Blogspot tutorial